Problematika Generasi Z

Generasi Z

Dirgaswara.com- Generasi Z merupakan kumpulan manusia modern yang unik. Bertumbuh kembang di pesatnya perkembangan zaman, membuat mereka tumbuh menjadi kumpulan individu yang menarik, atau mungkin bagi generasi sebelumnya, terkesan sangat aneh dan labil.

Menurut Badan Pusat Statistik Kota Tasikmalaya, Gen-Z berada pada rentang usia 8-23 tahun. Melihat usia yang cukup muda tersebut, membuat Gen-Z menjadi objek yang menarik untuk dibahas. Sebab mereka baru memasuki tahap awal menjadi dewasa dan tidak lama lagi akan mengambil peran penting dalam kehidupan sosial dan akan memperngaruhi  peradaban dunia kedepannya.

Pada umumnya, Gen-Z digambarkan sebagai anak muda yang pandai beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Mereka dengan sangat mudah mempelajari gadget kekinian yang diciptakan oleh industri elektronik dunia. Mereka yang dari kecil telah mencicipi gemerlap dunia digital tersebut, tentu tidak kikuk dengan semua itu.

Pada sisi lainnya, Gen-Z juga digambarkan sebagai anak muda yang malas, suka bergantung kepada orang tua dan tidak mau diatur oleh apa pun. Mereka malas beribadah dan  malas belajar, yang ada di dalam otak mereka hanyalah bagaimana cara agar selalu dapat bersenang-senang, dan dapat menjadi tajir dengan cara yang instan, tanpa memlaui kerja keras yang meletihkan.

Namun, sifat buruk yang tertanam pada pola pikir Generasi-Z itu juga dilatarbelakangi akibat masifnya perkembangan teknologi. Bertumbuh kembang dengan duniadigital yang sangat mempesona mempengaruhi otak mereka dalam melihat dunia.

Mereka begitu mudah mendapatkan segala hal yang diinginkan, mulai dari; hiburan hingga informasi, semua dengan mudah mereka dapati. Tidak perlu capek-capek bergaul mencari teman untuk mendapatkan kesenangan. Dengan hanya duduk diam di rumah, mereka bisa mendapatkannya.

Tetapi sayangnya perkembangan yang massif pada dunia digital tersebut tidak diimbangi dengan inovasi yang menarik pada dunia pendidikan. Yang mana proses belajar-mengajar masih menggunakan cara-cara lama yang sangat membosankan dan tidak relevan dengan apa yang dibutuhkan Generasi Z.

Meski tidak suka bersekolah dikarenakan membosankan, tetapi Gen-Z ingin mempunyai kehidupan yang tajir melintir di usia muda. Bermimpi memiliki rumah dan mobil mewah.

Sialnya, angan-angan yang tidak masuk akal tersebut seakan dapat terwujud dengan kehadiran influencer yang mengaku kaya di usia muda, tanpa sekolah dan tanpa bekerja sebagaimana semestinya.

Hal itu menjadi pembenaran bagi Gen-Z yang tidak kuat dan malas bersekolah. Melaui konten yang diaupload di sosial media tersebut mereka yakin, bahwa tanpa sekolah dan kerja keras pun mereka bisa menjadi kaya.

Kehadiran influencer seperti Timoty Ronald ini lah yang semakin memperparah keadaan. Dengan omong kosong yang keluar dari mulut mereka, influencer tersebut mendoktrin para Gen-Z, bahwa untuk kaya pendidikan dan kerja keras tidak dibutuhkan. Para Gen-Z lugu tersebut  sayangnya dengan mudah percaya atas harapan kekayaan imajinatif yang dipaparkan oleh sang influencer. Hingga tidak heran jika pengangguran di Indonesia didominasi oleh Gen-Z.

Sisi lain yang mengerikan dari Gen-Z inilah yang kemudian akan menjadi ancaman bagi kehidupan sosial ke depannya. Bayangkan saja jika di kemudian hari para Gen-Z pemalas tersebut mengambil alih peran-peran penting dalam kebijakan publik. Tentu kemungkinan-kemungkinan terburuk pasti akan terjadi.

Gen-Z yang tidak terbiasa dengan kehidupan yang sistematis akan menjadi ancaman jika para orang tua tidak mengambil langkah yang tegas untuk masalah ini. Begitu pun dengan pemerintah, mereka harus memperhatikan tingkah Gen-Z yang cukup unik tersebut, jika pemerintah ingin Indonesia memiliki generasi emas di tahun 2045.

Singkatnya, Gen-Z harus dicekoki pendidikan, Gen-Z harus dicekoki ilmu agama. dan Gen-Z harus disadarkan, bahwa kehidupan tidak seperti apa yang mereka bayangkan. Bahwa tidak ada kehidupan mapan yang mampuh didapatkan dengan cara yang instan.

Namun, para penyelenggara pendidikan juga harus mengevaluasi proses pendidikan yang ada. Juga tidak bisa dipungkiri, jika sistem pendidikan dan kurikulum di Indonesia masih banyak diisi dengan sampah. Nyatanya para pengajar tidak bisa memberikan ilmu yang relevan kepada generasi muda. Yang mereka berikan hanyalah teori-teori kuno yang sudah ketinggalan zaman.

Tidak hanya itu, para pemuka agama juga tidak mampu mengambil hati anak muda agar mereka nyaman dengan agama. Percayalah, para generasi muda tersebut, tidak anti terhadap agama. Mereka hanya tidak mengerti dan malas beragama.

Komentar