Table of Contents
TogglePutuskan Sritex Pailit
Sritex merupakan salah satu raksasa dalam industri tekstil di Indonesia, terkenal dengan produk-produk kain berkualitas tinggi.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan ini mengalami berbagai tantangan yang signifikan. Salah satu faktor utama adalah penurunan permintaan global terhadap produk tekstil, yang diperparah oleh masuknya produk impor dari negara-negara seperti China dan Vietnam.
Produk-produk ini biasanya dijual dengan harga yang jauh lebih murah, membuat Sritex dan pemain lokal lainnya kesulitan untuk bersaing.
Saham Sritex sendiri telah mengalami suspensi di Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak 18 Mei 2021 akibat penundaan pembayaran pokok dan bunga MTN Sritex Tahap III Tahun 2018.
Suspensi ini berlangsung selama 41 bulan, menjadikan situasi keuangan perusahaan semakin tertekan. Terakhir, saham SRIL diperdagangkan pada level Rp 146, yang mencerminkan kondisi keuangan yang kritis.
Keputusan Pailit dan Implikasinya
Keputusan pengadilan untuk menyatakan Sritex pailit tidak hanya berdampak pada perusahaan itu sendiri, tetapi juga berpengaruh pada tiga anak usahanya.
Dengan kondisi ini, para pemangku kepentingan, termasuk karyawan, pemasok, dan pemegang saham, akan merasakan dampaknya.
Karyawan, yang mungkin sudah menghadapi ketidakpastian selama beberapa tahun terakhir, kini dihadapkan pada kemungkinan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan kehilangan sumber penghasilan.
Dari sisi pemasok, mereka mungkin tidak akan mendapatkan pembayaran untuk barang dan jasa yang telah disuplai. Selain itu, pemegang saham Sritex akan menghadapi kerugian besar, mengingat nilai saham yang terus merosot.
I Gede Nyoman Yetna, Direktur Penilaian Bursa Efek Indonesia, menyatakan bahwa pihaknya telah meminta Sritex untuk memberikan informasi terkait keputusan pailit tersebut. “Kami ingin mengetahui tindak lanjut dan rencana SRIL terhadap putusan pailit termasuk upaya SRIL untuk mempertahankan kelangsungan usahanya,” ujarnya.
Dampak pada Industri Tekstil
Keputusan pailit Sritex juga mencerminkan tantangan yang lebih luas yang dihadapi oleh industri tekstil di Indonesia.
Beberapa perusahaan lain di sektor ini, seperti PT Century Textile Industry Tbk (CNTX), juga mengalami kesulitan keuangan.
CNTX mencatatkan kerugian hingga US$ 1,45 juta pada kuartal I-2024, sementara penjualannya turun sebesar 25,63% dibandingkan tahun sebelumnya. Situasi ini menunjukkan bahwa bukan hanya Sritex yang terpuruk, tetapi juga emiten tekstil lainnya.
Ketidakmampuan untuk bersaing dengan produk dari negara-negara dengan biaya tenaga kerja yang lebih rendah, seperti Vietnam, menjadi faktor utama yang menyebabkan lesunya industri ini.
Adityo Nugroho, Senior Investment Information di Mirae Asset Sekuritas, menekankan bahwa industri tekstil di Indonesia telah lama berada dalam tekanan.
“Karena industrinya padat karya, mereka akan kalah bersaing dengan produk serupa dari negara-negara yang upah pekerjanya di bawah Indonesia,” tuturnya.
Langkah Selanjutnya
Dalam menghadapi situasi ini, langkah-langkah harus diambil untuk menyelamatkan sektor tekstil yang sedang terpuruk.
Maximilianus Nico Demus, Associate Director of Research and Investment di Pilarmas Investindo Sekuritas, menyoroti bahwa diperlukan regulasi yang kuat untuk mengatasi masuknya produk impor.
“Indonesia butuh regulasi yang kuat untuk menahan masuknya impor sembari menanti pulihnya permintaan. Memilih sektor lain mungkin akan menjadi cara terbaik, setidaknya untuk saat ini,” ujarnya.
Oleh karena itu, keberadaan kebijakan yang mendukung industri lokal sangatlah penting. Pemerintah perlu mempertimbangkan langkah-langkah yang dapat memberikan perlindungan dan dukungan bagi industri tekstil domestik, termasuk insentif bagi perusahaan yang berinovasi dan meningkatkan kualitas produk mereka.
Keputusan pailit Sritex merupakan sinyal yang jelas tentang kondisi darurat di sektor tekstil Indonesia. Implikasi dari keputusan ini akan dirasakan tidak hanya oleh perusahaan dan anak usahanya, tetapi juga oleh seluruh ekosistem industri tekstil.
Tantangan persaingan dengan produk impor dan penurunan permintaan global harus ditangani dengan serius untuk memastikan keberlanjutan sektor ini di masa depan.
Regulator dan pemangku kepentingan harus bersinergi untuk menciptakan kondisi yang lebih baik bagi industri tekstil agar dapat bersaing dan berkontribusi terhadap perekonomian nasional.
Komentar